Masyarakat merupakan sekumpulan individu yang membentuk sistem sosial
tertentu dan secara bersama-sama memiliki tujuan bersama yang hendak
dicapai, dan hidup dalam satu wilayah tertentu (dengan batas daerah
tertentu) serta memiliki pemerintahan untuk mengatur tujuan-tujuan
kelompoknya atau individu dalam organisasinya. Dalam masyarakat itu
kemudian semakin lama terbentuk suatu struktur yang jelas yaitu
terbentuknya kebiasaan-kebiasaan, cara (usage), nilai/norma dan adat
istiadat. Struktur sosial yang terbentuk ini kemudian lama kelamaan
menyebabkan adanya spesialisasi dalam masyarakat yang mengarah
terciptanya status sosial yang berbeda antar individu.
Perbedaan status sosial di masyarakat tentunya akan diikuti pula oleh
perbedaan peran yang dimiliki sesuai dengan status sosial yang melekat
pada diri seseorang.
Pembedaan-pembedaan inilah yang menimbulkan setiap individu dalam suatu
masyarakat menimbulkan adanya pelapisan sosial atau yang lebih dikenal
dengan stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial pada kenyataannya adalah
seperangkat kerangka konseptual bagaimana memahami dan
mendefinisikannya sebagai satu aspek dari organisasi sosial. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Kelley, “since every individual occupies
numerous social position and plays many roles, it is possible to
classify persons into status-role categories, which are ranked in terms
of the relative position of their roles taken as a whole”.
Esensi
dari stratifikasi sosial adalah setiap individu memiliki beberapa posisi
sosial dan masing-masing orang memerankan beberapa peran, sehingga hal
ini memungkinkan untuk mengklasifikasikan individu-individu tersebut ke
dalam kategori status-peran, dimana perangkingan didasarkan atas posisi
relatif dari peran-peran yang mereka mainkan secara keseluruhan.
Stratifikasi sosial didefinisikan secara eksplisit atau implisit sebagai
sistem fungsional yang diakui dalam diferensiasi dan posisi rangking
dalam kelompok, asosiasi, komunitas dan masyarakat. Dari definisi
tersebut dapat dilihat terdapat tiga (3) elemen stratifikasi yaitu: (i)
sistem perangkingan posisi sosial individu, (ii) struktur sosial yang
dapat diaplikasikan pada segmen yang luas, dan (iii) berlangsung dalam
periode waktu yang lama.
Berdasarkan definisi dari stratifikasi sosial di atas, dapat dilihat
dengan jelas bentuk dari diferensiasi sosial, tetapi terdapat sebuah
perbedaan dari diferensiasi sosial. Bentuk-bentuk lain dari diferensiasi
sosial adalah peran kekerabatan/keluarga (kinship roles), peran
berdasarkan jenis kelamin (sex roles), atau peran berdasarkan usia (age
roles), dimana penentuannya didasarkan atas kualitas masing-masing
individu. Oleh karena itu, stratifikasi sosial merupakan konsep yang
universal. Stratifikasi sosial bersifat sangat luas karena stratifikasi
sosial itu menunjukkan atau memiliki fungsi sosial, diantaranya: (i)
untuk memberikan kemudahan dalam pembagian kerja yang jelas, untuk
memudahkan masing-masing individu menjalankan tugas-tugasnya (sebagai
fungsi sosial dibutuhkan untuk mengetahui kedudukan seseorang dalam
struktur yang tinggi); (ii) untuk memudahkan dalam pemberian penghargaan
(reward) baik dalam bentuk uang, prestise maupun kekuasaan; (iii)
sebagai fungsi sosial untuk memperoleh kedudukannya tidak berdasarkan
atas dasar reward.
Stratifikasi sosial menunjukkan adanya suatu ketidakseimbangan yang
sistematis dari kesejahteraan, kekuasaan dan prestise (gengsi) yang
merupakan akibat dari adanya posisi sosial (rangking sosial) seseorang
di masyarakat. Sedangkan ketidakseimbangan dapat didefinisikan sebagai
perbedaan derajat dalam kesejahteraan, kekuasaan dan hal-hal lain yang
terdapat dalam masyarakat. Dalam stratifikasi sosial, ketidakseimbangan
dikatakan sistematis untuk menggarisbawahi bahwa ketidakseimbangan
dibangun di dalam struktur sosial dan bukan merupakan akibat perbedaan
individu atau kesempatan yang didapatkan oleh masing-masing individu.
Pada kenyataannya, salah satu pengertian dari sosiologi, bahwa
stratifikasi menjadi bagian besar dari masyawakat dan bukan sekedar
keberuntungan atau usaha personal. Semua masyarakat di dunia modern
dipandang sebagai masyarakat yang berlapis berdasarkan kesejahteraan,
kekuasaan dan prestise, dan juga berdasarkan atas hal lain seperti
gender, ras dan etnis.
Setiap masyarakat dimana pun adanya berada dalam
suatu lingkup geografi dan budaya tertentu pada dasarnya memiliki
struktur sosial yang berbeda satu sama lainnya. Dalam masyarakat pasti
memiliki stratifikasi atau pelapisan sosial, tidak peduli masyarakat
tersebut dikelompokkan ke dalam masyarakat tradisonal ataupun modern.
Hanya saja untuk melihat fenomena ini memerlukan kejeliaan. Pada
dasarnya pelapisan sosial sebagai suatu ciri dari masyarakat (kehidupan
manusia) baik masyarakat tradisional atau modern. Keadaan ini
membutuhkan adanya identitas setiap lapisan masyarakat yang dapat
dijadikan simbol bagi status sosial seseorang yang dapat memberikan
sejumlah hak dan kewajiban dalam kehidupan.
Pelapisan sosial yang ada dalam masyarakat di samping memberikan
status sosial seseorang, entah status sosial tersebut naik (mobilitas
sosial vertikal naik) ataupun turun (mobilitas sosial vertikal turun)
atau hanya mengalami pergeseran status (mobilitas sosial horizontal),
semuanya tersebut juga memiliki peran yang tidak dapat dipisahkan dari
status sosial yang melekat pada status yang baru tersebut. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Weber, bahwa status sosial seseorang terkait
dengan kehormatan yang melekat dalam status tersebut. Kehormatan mungkin
dapat dihubungkan ke dalam masyarakat yang serba pluralitas yang akan
mengacu terhadap adanya pembedaan status sosial seseorang dalam
masyarakat. Kalau zaman dahulu (mungkin dibeberapa tempat masih
terdapat) bahwa status sosial seseorang erat kaitannya dengan
“kelahirannya” (ascribed status), nampaknya hal tersebut seiring dengan
perkembangan dan kemajuan pola berpikir dan penegakan hak-hak asasi
manusia status sosial berdasarkan atas “kelahiran” mulai banyak
ditinggalkan. Orang-orang sekarang sudah mulai bergeser pola
pemikirannya, mereka sadar bahwa status sosial seseorang tidak saja
hanya dapat diperoleh dari kelahiran seperti keluarga bangsawan tetapi
juga akan potensi pengembangan diri misalnya dari pendidikan, pekerjaan,
jabatan akademis, pekerjaan yang diperolehnya, atau karena kekayaan
yang dimilikinya. Kalau kita lihat bahwa status sosial tersebut
diperoleh dengan tiga jalan, dua telah dikemukakan di atas. Pertama,
status sosial yang diperoleh karena adanya kelahiran (ascribed status).
Sifat dasar status yang dieroleh berdasarkan atas kelahiran adalah
konsep “dibebankan” yang melekat pada status tersebut. Misalnya dapat
ditemui pada keluarga bangsawan Kerajaan Inggris, Brunei ataupun
Kesultanan Yogyakarta dan Solo. Sampai saat ini pun, gelar-gelar ini
banyak kita temui dalam kehidupan modern seperti gelar KPGH, KPH dan
Raden Mas (yang masih banyak sekali kita temui dalam kebudayaan Jawa).
Kedua, yaitu status sosial yang diperoleh dengan jalan karena prestasi
yang diperoleh seseorang karena prestasinya dinilai bermanfaat bagi
masyarakat, yang diberikan oleh lembaga yang berhak untuk memberikan
gelar atau penghargaan tersebut. Misalnya Gelar “Lord” atau “Sir” yang
diberikan oleh Kerajaan Inggris, Gelar “Datuk” atau “Tan Sri” yang
diberikan oleh Kerjaan Malaysia, Kanjeng Raden Temenggung (KRT) oleh
Kesultanan Yogayakarta ataupun Gelar Doktor Honoris Causa (Dr(Hc)) dari
sebuah universitas yang sebenarnya hanya boleh dipergunakan ketika yang
bersangkutan ada dalam kegiatan resmi universitas yang memberikan gelar
tersebut. Terakhir, ketiga, gelar atau penghargaan yang diperoleh karena
adanya prestasi (achievement) yang diperoleh seseorang dalam bidang
ilmu pengetahuan. Contohnya gelar Ir, Drs, S.Sos,M.Si, MSc, MA,
DR ataupun Ph.D.
Bentuk Stratifikasi: Kasta, Estate dan Kelas Sosial
Anggapan masyarakat modern secara refleks, bahwa tahap-tahap dalam
pembangunan, pekerjaan dalam organisasi dan pekerjaan berhubungan dengan
struktur sosial masyarakat setempat yang mana memberikan kerangka
substansial yang terdiri dari individu-individu, kelompok dan institusi
dimana mereka hidup. Permasalahan utama dalam masyarakat yang sering
kali dilihat dan banyak mendapat perhatian adalah kelas sosial (social
class), ketidakseimbangan (Inequality) dan perubahan sosial (social
change). Konsep kelas muncul untuk mengidentifikasi individu-individu
atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang membedakannya dalam
mendapatkan fasilitas kesehatan, ekonomi, kesejahteraan. Menurut
Sanderson, sistem stratifikasi sosial berkenaan dengan adanya dua atau
lebih kelompok dalam suatu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya
memiliki kekuasaan, hak-hak istimewa, dan pretise yang tidak sama pula.
Sistem stratifikasi sosial ada tiga yakni caste, estate dan class system.
Sistem Kasta
Sistem kasta memilki karakteristik sistem kelas yang horizontal
(strata) yang merefresentasikan area-area fungsional yang terdapat dalam
masyarakat. Area-area tersebut meliputi religi (agama), pendidikan,
pemerintahan dan bisnis. Masing-masing area kemudian disusun berdasarkan
atas tingkat kepentingan fungsional dalam masyarakatnya. Penentuan
urutan tersebut terkadang merupakan hasil dari perjuangan kelompok
tertentu yang ada dalam masyarakat dan terkadang merupakan hasil
penaklukan dari kelompok yang berada di luar masyarakat. Dalam kedua
kasus tersebut, sistem distabilkan melalui nilai-nilai dalam masyarakat.
Konsep kasta merupakan gejala khas masyarakat feodal, sedangkan kelas
tersebut adalah gejala masyarakat pasca-feodal (postkolonial). Sebagai
daerah bekas pendudukan Hindu yang bersifat feodalisme, Indonesia masih
memiliki ciri dan karakteristik masyarakat yang berbentuk kasta.
Istilah Kasta umumnya berkenaan dengan bentuk kaku dari stratifikasi
sosial masyarakat yang ditandai dengan adanya strata edomogamus (dalam
perkawinan), yang mempraktekkan penolakan terhadap sesama dan tidak
memungkinkan terjadinya mobilitas. Menurut McCord, sistem kasta atau
sistem yang mirip dengannya mulai ada pada masyarakat Hindu di India
sekitar 2000 tahun yang lalu. Dalam ideolgi Hindu India ini setiap
hubungan dengan kasta lain (apalagi yang dibawahnya) adalah sesuatu yang
terlarang.
Sistem kasta yang masih kental di dunia dapat kita lihat masih ada
dalam sistem kemasyarakatan, khususnya di India. Sistem kasta Hindu
merupakan bentuk rumit dan kaku dari stratifikasi sosial di dunia ini.
Sistem ini kemungkinan juga merupakan fenomena sosial yang paling
sedikit dimengerti dalam ilmu sosial. Kasta disini seringkali mirip
dengan “klan” jenis kolektif yan lebih lama yang mengasumsikan sebuah
fungsi dari asosiasi. Di India, sebenarnya ada lima kasta (satu kelompok
sering kali disebut sebagai kelompok yang tidak memiliki kasta) yang
berkembang, namun seiring dengan adanya doktrin tradisional yang sering
disebut dengan kasta hanya empat yakni Kasta Brahmana (Pendeta), Ksatrya
(keluarga raja dan pemimpin kerajaan), Waisya terdiri dari golongan
pedagang dan Kasta Sudra yakni para petani, sedangkan Kasta yang tidak
memiliki “Kasta” dinamakan dengan sebutan Hariyan. Kasta Sudra memiliki
tempat rendah dan dianggap sebagai kasta yang kotor oleh golongan kasta
yang ada diatasnya. Dalam Weda, konsep sebenarnya tidak ada, ini hanya
merupakan sebuah akal-akalan atau siasat dari kaum Brahmana (kaum
terpelajar dan hanya yang diijinkan waktu itu untuk membaca kitab suci
atau mendapatkan pendidikan) untuk mempresentasikan dirinya sebagai
kasta tertinggi, sedangkan sisanya memiliki kasta yang lebih atau agak
dekat dengannya.
Kemunculan kelas kasta ini sebagai bentuk kolaborasi antar pendeta
(rohaniawan) yang dalam hal ini sebagai kelas yang dominan dengan tuan
tanah (mencengkramkan feodalisme) untuk mengembangkan kultur hemogeni
sistem kasta yang diselenggarakan dari ajaran Weda, Kitab Suci Agama
Hindu. Hegemoni budaya (ideologi yang dominan) ini meenggaris bawahi
bahwa tipa-tipa orang dalam masyarakat dilahirkan pada kedudukan
(status), struktur sosial dan kasta tertentu sehingga sangat tabu bagi
masyarakat untuk melakukan perkawinan antar kasta karena hal tersebut
dianggap sebagai hal yang melanggar aturan, norma dan dinilai sebagai
perkawinan kotor atau najis. Sehingga ada kecenderungan terjadi
eksploitasi oleh kelas dominan (pendeta) terhadap kelas yang lebih
rendah, begitu seterusnya.
Gould menyatakan masyarakat yang umum mengembangkan sistem
stratifikasi sosial yang menyerupai kasta adalah masyarakat yang
agraris. Masyarakat kasta memiliki ciri-ciri penting sebagai berikut:
(i) tingkat perubahan teknologi relatif lambat; (ii) strata sosial, yang
umumnya adalah Ksatrya (prajurit) atau Brahmana (pendeta), memiliki
pengaruh atau kekuasaan yang besar; (iii) heterogenitas kultural, sosial
atau rasial.
Sistem kasta ini tidak hanya pada bidang-bidang sosial saja, melainkan
juga pada bidang-bidang lain terutama ekonomi. Seperti penelitiannya
Joan Mecher , penguasaan kasta ternyata pada tingkatan ekonomi, dimana
kelas kasta memberi legitimasi kaum penguasa tanah (yang didukung oleh
rohaniawan Hindu-merupakan kasta tertinggi di India) merugikan kelas
petani yang berkasta lebih rendah. Kasta Heriyan menderita dua kerugian
utama yakni, eksploitasi ekonomi dan identitas yang terhina. Hukum-hukum
yang melarang praktek eksploitasi ekonomi dan penghinaan identitas
tidak memiliki sebuah kekuatan untuk menghalangi praktek-praktek ini.
Para Brahmana dari kasta atas memiliki kewenangan untuk memberikan
sanksi kepada kasta yang ada dibawahnya, jika kasta yang dibawahnya
mereka anggap melanggar aturan-aturan tradisional masyarakat India.
Dari hal tersebut Mecher mengambil suatu kesimpulan bahwa dalam
masyarakat berkasta, para aristokrat tuan tanah berkolborasi dengan kaum
rohaniawan (kasta dominan) untuk mengembangkan kultur hegemoni sistem
kasta yang diselenggarakan dari ajaran Weda (Kitab Suci Agama Hindu).
Dimana hegemoni budaya (ideologi dominan) “kasta” itu menganggap bahwa
tiap-tiap individu dalam masyarakat dan hubungan-hubungan antara kasta
yang berbeda (barangkali kasta dibawahnya) dianggap sebagai sebuah
hubungan yang bersifat kotor, najis, pantangan dan melanggar etika.
Dalam hal ini perkawinan camouran antar kasta merupakan sesuatu yang
harus dihindari, sehingga dengan perkataan lain hubungan sosial dalam
kasta diatur sedemikian rupa. Cara berbahasa, gerak tubuh dan bersikap
diatur sedemikian rupa. Bahkan di kadangkala pakaian dan tata cara
menggenakan busana pun diatur sedemikian rupa, pakaian yang dikenakan
menunjukkan kelas staus seseorang dari kasta mana ia berasal. Sehingga
keadaan ini memberikan sebuah kesempatan kepada kasta lebih atas untuk
mendominasi kehidupana kasta dibawahnya dengan jalan eksploitasi ekonomi
dan penghinaan identitas diri.
Telah dikemukakan di atas bahwa sistem stratifikasi sosial dalam hal
ini kasta, sebagai suatu wujud sistem masyarakat dengan pelapisan sosial
tertutup, tidak ada yang mutlak tertutup dari suatu gerak sosial
(mobilitas). Salah satu bentuknya adalah perkawinan. Telah jauh
sebelumnya pada masyarakat di India, dikatakan sebagai suatu hal yang
najis untuk berhubungan dengan individu yang berbeda kasta, perkawinan
antar kasta menjadi dilarang. Begitu juga hal pada masyarakat Bali.
Bagi masyarakat Bali perkawinan adalah suatu rangkaian kehidupan yang
amat penting bagi mereka. Tahapan-tahapan kehidupan masyarakat Bali
telah diatur dalam suatu konsep “jalan kehidupan”, mulai datri masa
menuntut ilmu (Brahmacari), masa membina rumah tangga dan masa
mengasingkan diri kepada Tuhan. Konsep ini sudah tertanam pada
masyarakat Bali. Sebenarnya ada tiga upacara besar dalam masyarakat Bali
yakni Perkawinan, Kematian (ngaben) dan upacara-upacara agama. Ngurah
Bagus menyatakan bahwa berdasarkan adat lama yang masih kental dengan
sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), sedapat mungkin
perkawinan yang dilakukan oleh seorang pemuda dan pemudi yang masih
memiliki kesamaan klen dan tidak diperbolehkan dengan orang-orang yang
dianggap memiliki derajt lebih tinggi dalam kastanya. Perkawinan adat
Bali bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang masih
dicita-citakan oleh masyarakat Bali yang masih bersifat kolot adalah
perkawinan antar anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Orang-orang
yang masih se-klen (masih dalam satu sanggah, tunggal dadia, tunggal
kawitan), merupakan orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat
dan agama.
Demikian juga halnya dalam kasta pada masyarakat Bali, perkawinan
antar kasta sangatlah dijaga agar jangan sampai terjadi. Batasan
perkawinan hanya dalam satu klen atau kasta yang segolongan sangatlah
kuat dijaga oleh generasi tua dalam masyarakat Bali. Hal ini didasari
atas pemikiran mereka bahwa perkawinan antar kasta atau klen akan
mengakibatkan terjadinya ketegangan-ketegangan atau noda-noda dalam
keluarga. Dala hal ini teruatam harus dijaga perkawinan dari anak wanita
yang memiliki status kasta lebi tingi dengan pemuda yang memiliki kasta
lebih rendah. Perkawinan seperti ini membawa malu dan turunnya gengsi
kasta dalam masyarakat, maka wanita ini akan dinyatak keluar dari
dadia-nya dan secara fisik suami istri akan dibuang (maselong) untuk
berapa lama, ke tempat jauh dari asalnya dan tidak diperbolehkn
berhubungan dengan masyarakat.
Sistem Estate
Bentuk kedua dari stratifikasi sosial adalah sistem estate yang pada
dasarnya juga berdasarkan pada sistem kelas tertutup, tetapi lebih
longgar bila dibandingkan dengan sistem kasta. Sistem estate mencapai
masa kejayaannya pada masa feodalisme di eropa dan masih digunakan oleh
beberapa negara yang tetap mempertahnkan sistem aristokrasi atau
kepemilikan tanah secara turun temurun (feodalis Eropa). Istilah
”estate” berasal dari terminologi feodal Eropa.
Seperti sistem kasta, sistem estate didasarkan pada urutan posisi
berdasarkan atas stratifikasi fungsional. Bedanya adalah area-area
fungsional tersebut dianggap sebagai pelengkap dan sama pentingnya.
Dengan kata lain, area militer, religius (agama), pemerintah dan ekonomi
dianggap sama pentingnya dalam masyarakat. Oleh karenanya area-area
fungsional tersebut dianggap sebagai urutan vertikal dari kekuasaan
bukan sebagai sebagai urutan horizontal.
Sistem Kelas
Aristotle menggambarkan bahwa didunia ini ada tiga kelas utama yang
menyusun kehidupan dan akan selalu tergambar dalam setiap masyarakatnya,
pengkategorian kelas menurut Aristoteles ini berdasarkan atas status
sosial yang mereka peroleh dari ukuran ekonomi yaitu seberapa besar
kekayaan yang dipunyainya. Ketiga kelas tersebut adalah kelas atas
(kelas kaya), kelas bawah (kelas miskin) dan kelas yang ketiga, yang
berada diantara kelas kaya dan kelas miskin tersebut yakni kelas
menengah. Kelas menengah merupakan kelas yang selama ini membuat
kestabilan dalam masyarakat. Kelas menengah ini memiliki posisi penting
dalam rangka menjaga kestabilan masyarakat.
Sebagaimana yang dikemukana oleh Dahrendorf, istilah kelas pertama
kali muncul dan diperkenalkan oleh bangsa Romawi dan sepanjang
sejarahnya kelas tersebut selalu mengalami pergeseran arti . Awal
mulanya digunakan untuk istilah dalam pembayaran pajak, yang terbagi ke
dalam dua kelas, yakni kelas assidui atau golongan kaya dan plotariat
atau golongan miskin. Pergeseran selanjutnya adalah istilah yang
dipergunakan oleh Marx, khususnya dalam bidang ekonomi yakni untuk
menentukan kesenjangan sosial.
Menurut Elster, teori Marx tentang kelas mulai dengan seperangkat
kepentingan tertentu yang didefinisikan secara obyektif yang muncul dari
hubungan-hubungan penindasan serta dominasi oleh kelompok elite
terhadap aset produksi. Obyektifitas manusia mencul akibat adanya
pemikiran bahwa orang senantiasa memiliki kepentingan agar tidak menjadi
kelompok atau individu yang didominasi oleh kelompok atau individu
lain. Peningkatan kepentingan tersebut hanya dapat diraih secara
kolektif, atau dalam artian membentuk suatu kelompok yang memiliki
karakteristik yang sama atau kepentingan yang sama. Teori ini juga
mengkaji tentang kenapa kepentingan obyektif muncul sebagai kepentingan
subyektif yang tidak dirasakan oleh sebagian kelompok orang. Teori ini
juga mengkaji tentang perjuangan kelas dari masyarakat.
Pengajuan perbedaan kelas dan status selanjutnya banyak dibahas juga
oleh Weber dengan secara lebih ekplisit menyebut kelas, status dan
partai. Ketiga kelas ini menunjukkan tatanan sosial dalam masyarakat.
Kelas merupakan stratifikasi sosial berkenaan dengan hubungan produksi
dan penguasaan harta benda. Kelompok status lebih ditekankan pada nilai
yang dianut dalam kelompok sosial sebagai suatu perwujudan stratifikasi
berkaiatan dengan pengkonsumsian atau penggunaan harta benda sebagaimana
yang dicerminkan sebagai gaya hidup. Sedangkan partai merupakan
perkumpulan sosial yang berorientasi terhadap penggunaan kekuasaan
sosial dalam masyarakat guna mencapai kepentingan-kepentingannya
(individu atau kelompok) dalam masyarakat.
Marx tidak pernah secara khusus dan mendetail membahas dan meyebutkan
apa yang dia maksud sebenarnya dengan kelas. Namun yang terjadi adalah
merekonstruksi berbagai definisi dari tulisan-tulisan yang pernah
ditulisnya dengan cara merujuk kembali tentang apa yang dimaksudnya
sebagai kelompok-kelompok yang seringkali dirujuk sebagai kelas.
Pandangan Marx secara khusus yakni kelas-kelas merupakan unit-unit
fundamental (dasar) dalam konflik sosial yang berimplikasi terjadinya
perubahan sosial dalam masyarakat. Kelas-kelas tidak dapat dibedakan
secara khusus dan mendetail, namun demikian kelas memiliki keberadaan
riil dalam masyarakat.
Jadi konsep kelas menurut Marx, mengandaikan bahwa terjadi
interaksi-interaksi antara anggota-anggota kelas-kelas yang berbeda
dengan cara mentransfer perintah atau surplus. Marx beranggapan bahwa
pelaku utama dalam kemasyarakatan adalah adanya kelas-kelas ini.
Sehingga sangat perlu kita memperhatikan keberadaan kelas ini dalam
masyarakat. Menurut Marx, kelas sosial merupakan gejala khas masyarakat
pascafeodal, sedangkan golongan dalam sosial dalam masyarakat feodal dan
kuno disebut dengan “kasta”.
Ketertutupan Kelas Sosial dan Mobilitas Sosial
Hubungan antara kelas dan kasta pada masyarakat yang bersifat
feodalistik lebih jelas lagi diungkapkan oleh Parkin mengenai
ketertutupan sosial. Ketertutupan sosial merupakan kemampuan suatu
kelompok untuk menutup diri dari masuknya anggota kelompok lain untuk
menjadi bagian atau anggota kelompoknya. Ketertutupan kelas sosial
merupakan sebuah cara utama yang penting dalam membentuk sebuah kelas
baru. Pembentukan kelas sosial yang dominan terhadap masyarakat dapat
dicapai melalui kontrol monopolistik terhadap sumberdaya, termasuk yang
diutamakan Marx seperti tanah dan kapital, di samping kekerasan melalui
senjata.
Weeden, seperti yang dikutip dari pendapatnya Weber, menyatakan bahwa
ketertutupan sosial menunjukkan sebuah kompetisi untuk mempertahankan
kelompoknya dari penurunan ketertarikan terhadap kelompok. Suatu
kelompok akan mencoba untuk memonopoli keuntungan dan memaksimlakan
ganjaran mereka dengan menutup kesempatan dari luar yang mereka
definisikan sebagai kelas bawah (inferior) atau tidak memiliki kriteria
seperti yang mereka syaratkan. Ketertutupan sosial ini dapat berdasarkan
bermacam-macam hal, diantaranya karakteristik yang nampak ataua
kelihatan, penggolangan berdasarkan ras, latar belakang sosial, bahasa,
agama dan gender. Teori ketertutupan sosial juga menggolongkan
berdasarkan kriteria-kriteria individu yang tidak dapat ditawar-tawar
lagi dalam masyarakat seperti kepercayaan terhadap tingkat pendidikan,
pengetahuan, atau jumlah kekayaan.
Ketertutupan dalam kasta merupakan hal yang spesifik dari teori ketertutupan sosial.
Ketertutupan kelas sosial (kasta) merupakan sebuah warisan
feodalistik. Pada kebanyakan masyarakat tani (masyarakat agraris) yang
merupakan refresentasi dari keberadaan sistem stratifikasi sosial yang
mirip kasta masih kuat terjadi, petani hanyalah sebagai penyewa lahan
pertanian dari kelompok masyarakat yang memiliki modal (penguasa tanah).
Dengan keadaan dan dibawah bayang-bayang dari foedalistik peninggalan
Hindu, maka menjadi suatu hal yang sulit untuk melakukan mobilitas antar
kasta.
Mobilitas antar kasta sendiri merupakan suatu gerak dalam struktur
sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok
sosial. Sruktur sosial mencakup sifat-sifat hubungan antara individu
dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya. Pada
masyarakat berkasta, umumnya mobilitas sosial yang terjadi adalah
mobilitas yang bersifat horizontal (perkawinan satu kasta) dan sangat
jarang ditemui adanya mobilitas sosial yang bersifat vertikal antar
kasta (perkawinan antar kasta). Mobilitas sosial vertikal dimaksudkan
sebagai perpindahan inidvidu atau objek sosial dari satu status ke
status yang lainnya yang tidak sederajat. Gerak sosial sesuai dengan
arahnya digolongkan menjadi dua, yaitu mobilitas sosial naik (social
climbing) dan mobilitas sosial turun (social sinking). Mobilitas sosial
naik (social-climbing) ini memiliki dua bentuk utama, yakni masuknya
individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih
tinggi, pada kedudukan yang telah ada dan pembentukan suatu kelompok
baru, yang kemudian ditempatkan pada derajat lebih tinggi dari kedudukan
individu pembentuk kelompok tersebut. Sedangkan mobilitas sosial turun (social-sinking)
mempunyai dua bentuk utama, yaitu turunnya kedudukan individu ke
kedudukan yang lebih rendah derajatnya dan turunnya derajat sekelompok
individu yang dapat berupa disintegrasi kelompok sebagai kesatuan.
Namun demikian, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
melihat dan mengkaji mobilitas sosial vertikal ini, diantaranya: (i)
hampir tidak ada sebuah masyarakat yang memiliki sistem sosial yang
sangat tertutup, dimana sama sekali mobilitas vertikal terjadi; (ii)
betapa terbukanya sistem pelpisan sosial suatu masyarakat tidak akan
mungkin suatu mobilitas sosial vertikal dapat dilakukan dengan
sebebas-bebasnya, pasti memiliki banyak sekali hambatan-hambatan; (iii)
mobilitas sosial vertikal yang umum berlaku bagi semua masyarakat tidak
ada, setiap masyarakat masyarakat memiliki ciri dan karakteristik
sendiri bagi mobilitas sosialnya; (iv) laju mobilitas sosial vertikal
yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik serta pekerjaan
adalah berbeda; dan (v) berdasarkan bahan-bahan sejarah, khususnya dalam
mobilitas sosial vertikal yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi,
politik dan pekerjaan, tidak ada kecenderungan yang kontinyu perihal
bertambah atau berkurangnya laju mobilitas sosial. Hal ini berlaku bagi
negara, lembaga sosial yang besar dam juga bagi sejarah manusia.
Sebuah Catatan untuk Studi Lanjut
Terdapat pergeseran bidang kajian dalam studi stratifikasi sosial
yaitu dari perspektif klasik yang hanya mengkaji bentuk-bentuk
stratifikasi sosial (area-area fungsional) ke arah perspektif
kontemporer dimana yang dikaji adalah masalah kelas, status dan
kekuasaan. Kelas, pada perspektif klasik, yang dikaji adalah
terbentuknya kelas penguasa dan kelas yang dikuasai yaitu penguasaan
faktor-faktor ekonomi (penguasaan alat-alat produksi dan modal).
Sedangkan pada perspektif modern, orientasi studi tentang kelas, lebih
pada kajian bagaimana pendapatan, pekerjaan dan kesejahteraan
mempengaruhi terbentuknya kelas-kelas baru. Sedangkan pada status,
bagaimana individu tersebut memaknai status dan peran yang dimiliki
dalam kelompok serta bagaimana kekuasaan-kekuasaan yang melekat dalam
status sosial tersebut memiliki hubungan dengan sistem stratifikasi yang
lain.
===============
Notes:
John D. Kelley. 1961. The Sociology of Stratification: A Theory of
the Ppower Structure of Society. PhD Dissertation (Louisiana State
University), pp. 375-376. Sedangkan Polak, mendefinisikan sebagai
sejumlah orang yang statusnya sama menurut penilaian sosial dinamakan
suatu ”lapisan”, ”golongan” atau ”stratum” dan bahwasannya masyarakat
tergolong berdasarkan atas strata (jamaknya stratum), istilah ini
merujuk pada definisi stratifikasi. Periksa kembali Maijor Polak. 1991.
Sosiologi: suatu buku pengantar ringkas. Jakarta: PT. Icthiar Baru.
Kingsley Davis and Wilbert A. Moore. 1945. Some Principles of
Stratification. The American Sociological Review, V, 10, No. 2, pp.
242-249.
Weber, Max. 1947. the Theory of Social and Economic Organization. New York: Free Press.
Pada prinsipnya secara pribadi, penulis tidak menyetujui adanya
penggolongan masyarakat berdasarkan modernitas yaitu masyarakat
tradisional atau modern. Berdasarkan atas pengamatan penulis, budaya
satu dengan budaya lainnya cenderung memiliki makna masing-masing yang
kadangkala hanya bisa dipahamioleh masyarakat yang bersangkutan.
Pada hakekatnya setiap kebudayaan memiliki prasyarat fungsional bagi
masyarakatnya. Dengan kata lain kita tidak dapat menilai kebudayaan
orang lain berdasarkan atas nilai budaya yang kita anut dalam kebudayaan
kita.
Sanderson, Stephen K. 2003. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan
Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Status
adalah kedudukan sosial seseorang dalam kelompok serta masyarakatnya.
Status mempunyai dua aspek, yaitu aspek yang agak stabil dan dinamis.
Aspek pertama bersifat hierarkis (mengandung perbandingan tinggi atau
rendah secara relatif terhadap status-status lain. Aspek kedua
dimaksudkan “peranan sosial” yang berkaitan dengan suatu status
tertentu, yang diharapkan dari seseorang yang menduduki status tertentu.
Status sosial ada tiga yaitu ascribed-status (berdasarkan kelahiran),
assigned-status (pemberiaan atau “diberikan”) dan acvieved-status
(status yang diperoleh karena peruangan atau dicapai).
Periksa kembali
analisis Weber tentang konsep kelas, status dan partai. Max Weber. 1946.
Max Weber: Essay in Sociology, translated by H.H. Gerth and C. Wright
Mills. Oxford University Press, Inc.
SUMBER : I Wayan Suyadnya.
Stratifikasi Sosial: Sebuah Catatan Awal
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar