Home » , » Teori Belajar Behavioristik

Teori Belajar Behavioristik

Menurut Wheeler dkk  ( dalam Association for educational Commonication and Technologi, 1994 ), teori adalah suatu prinsif atau serangkaian prinsif yang menerangkan sejumlah hubungan antara berbagai fakta dan meramalkan hasil-hasil baru berdasarkan fakta-fakta tersebut, sedangkan teori belajar adalah sebagai prinsif umum atau kumpulan prinsif yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta atau penemuan yang berkaitan dengan pristiwa belajar.

Perkembangan sebuah teori belajar tidak terlepas dari paradigma yang melingkupinya. Paradigma adalah prestasi ilmiah berupa praktek ilmiah aktual yang diterima mencakup hukum, teori, aplikasi dan instrumentasi. Dalam sejarah perkembangan teori belajar telah terjadi pergantian paradigma yaitu : a) Paradigma behavioristik, b) Paradigma kognitif, c) Paradigma konstruktivis / humanistik.
A.        Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman,. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan serta pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik, teoi ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, memposisikan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode penelitian atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat apabila diberikan penguatan dan akan menghilang jika diberikan hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon ( Slavin, 2000 : 143 ). Seseorang dianggap telah belajar sesutu jika dia dapat menunjukan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar ( siswa ), sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapa pebelajar ( siswa ) terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi sekarang antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan guru ( stimulus ) dan apa yang diterima oleh pebelajar / siswa berupa respon harus dapat diamati dan diukur . Teori ini mengutamakan pengukurann, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Sebagaimana telah dipaparkan bahwa teori behavioristik merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu , memandang individu dari sisi jasmani dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain behavioristik tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behavioristik, diantaranya :
1. Connectionisme ( S-R Bond ) menurut Thorndike
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing, menghasilkan hukum-hukum belajar ( Nyayu khadijah 2009 : 63 ) diantaranya :
a. Law of Effect, artinya bahwa jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respon, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara stimulus dan respon.
b. Law of Readines, bahwa kesiapan mengacu pada asumsi, kepuasan organisme itu berasal dari pemberdayagunaan satuan pengantar ( conduction unit ), dimana unit-unit itu menimbulkan kecendrungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
c. Law of Exercise, artinya bahwa hubungan antara stimulus dengan respon akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of Respondent Conditioning, yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan ( yang salah satunya berfungsi sebagai reinforce ), maka refleks dan stimulus lainya akan meningkat.
b. Law of Respondent Extinction, yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforce, maka kekuatannya akan menurun.
3.  Operant Conditioning menurut B.F.Skiner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F Siner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a. Law of operant conditioning, yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction, yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber ( Muhibin Syah, 2003 ) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek sama terhadap lingkungan. Respon dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respon tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainya seperti dalam classical conditioning.
4.  Sosial learning menurut Albert Bandura
Teori belajar social atau disebut juga teori observational learning adal;ah sebuah teori belajar yang relative masi baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut behaviorisme lainya, Bandura memandang perilaku individu tidak semata-mata repleks otomatis atas stimulus ( S-R Bond ), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsif dasar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar social dan moral terjadi melalui peniruan ( imitasion ) dan penyajian contoh perilaku ( modeling ). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning, melalui pemberian reward dan punishment. Seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti : tujuan pembelajaran, karakteristik pebelajar ( siswa ), sifat materi pelajaran, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memndang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti,tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ( transfer of knowledge ) ke orang yang belajar. Fungsi mind atau fikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berfikir yang dapat dianalisah dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berfikir seperti ini ditentukan oleh karakteristrik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarakan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh siswa.
Demikianlah halnya dalam pembelajaran, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang member ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena system pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanisme dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesen seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioritik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapidan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapakan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga siswa lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidak mampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada peraturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adlah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga control belajar harus dipegang oleh system yang berada diluar diri siswa.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “ mimetic “ yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentu laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada keterampilan yang terisolasi atau terakumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat sehingga aktivitas belajar didasarkan pada buku teks / buku wajib dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks / buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Kelebihan dan kekurangan teori belajar behavioristik
a. Kelebihan
1. Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar
2.   Metode behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsure-unsur seperti : kecepatan, spontaniotas, kelenturan, refleksi, dan daya tahan
3. Guru tidak banyak memberikan  ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika menemukan kesulitan baru bertanya kepada guru yang bersangkutan
4.   Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru, senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsun ( munkin seperti diberi permen atau pujian )
5.   mampu membentuk sutu perilaku yang diinginkan mendapatkan npenguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif, yang didasari pada perilaku yang tampak
6.   Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang kontinue dapat mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika anak sudah mahir dalam satu bidang tertentu maka akan lebih dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang kontinue tersebut dan lebih optimal
7.   Bahan pelajaran yang disusun secara hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu menghasilkan sesuatu perilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu.
b.  Kekurangan
1. Sebuah konsekuensi bagi guru, untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap
2.   Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan metode ini
3.   Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid
4.   Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif
5.   Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa
6.   Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru
7.   Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu kondisi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah guru melatih dan menetukan apa yang harus dipelajari murid sehingga dapat menekan kreatifitas siswa. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan meghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatif siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa diselesaiakn oleh siswa.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Resource


TABLE OF CONTENTS



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. C4T4T4N 4N4K B4NGS4 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger